Khabbab bin Arat adalah Sahabat Nabi yang namanya dikenal karena kisah penderitaan – sekaligus keberkahan yang dimiliki tubuhnya.
“Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melarang kita berdoa untuk memohon mati, pasti aku akan berdoa memohon mati”
Kiranya itulah yang diucapkan oleh seseorang yang berprofesi sebagai pandai besi ini. Khabbab bin Arat banyak sekali mengalami siksaan, terlebih ketika ia menjadi budak. Meski begitu, ia mengalami berbagai ujian tersebut dalam keadaan berada di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka, dengan kondisi pengorbanan dan keteguhan hatinya, sangatlah mustahil kalau ucapan tersebut keluar dari mulut Khabbab bin Arat. Lantas apa yang membuatnya berkata demikian? Yuk simak kisah singkatnya di bawah ini!
Daftar Isi
Perjalanan Singkat Khabbab bin Arat
Khabbab bin Arat telah hidup sejak masa awal Islam dengan tidak memiliki harta sedikitpun. Ia pernah dipakaikan baju besi, lalu dibaringkan di bawah terik matahari yang sangat panas. Keringat bercucuran dari tubuhnya. Begitu lama ia disiksa di bawah terik matahari, hingga daging di punggung mengelupas karena panasnya.
Jika menilik perjalanan hidupnya, Khabbab adalah seorang budak milik seorang wanita. Usut punya usut, ia sering meluangkan waktunya untuk menjumpai Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika sang tuan mengetahuinya, maka Khabbab bin Arat akan dihukum dengan cara ditusuk batang besi panas.
“Saya telah diseret di atas timbunan bara api yang menyala, sampai lemak dan darah yang mengalir dari punggung saya telah memadamkan api tersebut.”
Setelah Islam memasuki masa kejayaan dan pintu-pintu kemenangan telah banyak diraih, Khabbab berkata, “Tampaknya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membalas penderitaan kita. Saya khawatir ini hanya di dunia dan di akhirat nanti kita tidak mendapatkan balasan apa pun.”
Baca Juga: Khalid bin Walid dan Wakafnya di Jalan Allah
Khabbab dan Ketakutannya
Memasuki masa kemakmuran era Khulafau Rasyidin, Khabbab yang tadinya tidak memiliki apapun kemudian perlahan bangkit, hingga terkumpulah hartanya sebesar 80.000 dihram. Pada saat itu pula sangatlah jarang ditemukan umat Islam yang berada dalam keadaan susah.
Dengan kekayaan sebesar itu, Khabbab tidak pernah mengikat hartanya, tidak pula menahannya untuk berbagi. Khabbab bin Arat malah merasa kekayaan itu sebagai cobaan yang berat untuknya.
Dia takut dan merasa rugi dengan bertambahnya kekayaan di dunia, sehingga mengurangi pahalanya di akhirat.
Khabbab bahkan iri kepada Mush’ab bin ‘Umair yang syahid hanya meninggalkan satu helai pakaian. Perkara inilah yang sudah tidak mampu dijalani oleh Khabbab bin Arat, sehingga ia ingin berdoa memohon untuk mati, agar kesenangan di akhiratnya tidak terus dikurangi.
Namun tentu saja Khabbab tidak mengamalkan doa tersebut, karena memohon untuk mati hukumnya haram.
Harta dan Kebahagian di Dunia yang Semu
Tertanamnya perasaan khawatir akan berkurangnya kenikmatan di akhirat, dapat menghadirkan perasaan sedih ketika kita hidup memiliki banyak harta seperti Khabbab.
Sehingga, hal itu sudah sepatutnya menjadi tamparan untuk kita, bahwa harta yang kita miliki di dunia bukanlah milik kita.
Itulah mengapa Islam mengajarkan konsep Zakat, Infaq, Sedekah, dan Wakaf. Maka, apa yang dirasakan Khabbab rasanya sangatlah wajar sebagai seorang yang beriman.
Baca Juga: Kisah Nabi Muhammad Menolong Orang Miskin
Maka dari itu, bagi Sobat Wakaf yang merasakan hal yang sama dengan Khabbab, tidak ada salahnya untuk kita terus mengikhtiarkan yang terbaik, membagikan harta kita kepada sesama. Mulai dari yang terdekat terlebih dahulu, yaitu, keluarga, kemudian orang-orang sekitar.
Wallahu ‘alam Bishawab.
Yuk, tunaikan Wakaf dan Infak terbaikmu sekarang!
